Perilaku
berpacaran mungkin bukan merupakan masalah bagi sebagian orang, apalagi bagi
kalangan mahasiswa yang menganggap bahwa mereka sudah dewasa dan merasa perlu
untuk menjalin sebuah hubungan dengan lawan jenis yang katanya tujuannya
semata-mata untuk mempererat silaturahim. Mungkin masih bisa ditoleransi jika
mahasiswa yang berperilaku pacaran bukan berasal dari universitas yang berciri khas
islam, tapi berbeda ceritanya jika ternyata yang berpacaran adalah mahasiswa
yang berasal dari universitas yang berciri khas islam, apalagi universitas
islam yang negeri yang mana banyak orang menganggap bahwa mahasiswa nya adalah
calon-calon ilmuan yang ulama atau ulama yang ilmuan.
Berbicara
tentang perilaku berpacaran mahasiswa universitas islam negeri, tentu
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pun tidak lepas dari
sorotan masyarakat. Di universitas yang katanya menjadi PTAIN terbaik ini pun
masih banyak ditemui sepasang muda-mudi yang sedang asyik memadu kasih baik di
lingkungan universitas maupun di sekitarnya. Menjadi hal yang tidak lumrah
tentunya, dimana di universitas ini mewajibkan semua mahasiswa baru untuk
tinggal di mahad selama satu tahun, dan tentu bukan hanya numpang tinggal
tetapi diwajibkan pula mengikuti kegiatan keagamaan.
Berbicara
tentang pacaran, didalam islam tidak mengenal istilah berpacaran. Istilah
didalam islam yang pengertiannya hampir mirip dengan perilaku berpacaran adalah
berkhalwat. Jika ada sebuah pertanyaan seperti ‘apa pantas mahasiswa UIN
berpacaran?’ tentu jawabannya sudah kita ketahui, bahkan sepasang kekasih yang
berasal di UIN sendiri menjawab bahwa tidak pantas, tetapi mereka tetap
melakukannya, bukan hanya aneh tetapi ditambah nyeleneh.
Mahasiswa
yang berpacaran di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
memiliki latar belakang kehidupan sosial yang berbeda-beda. Dari segi asal
daerah, ternyata tidak mempengaruhi mahasiswa UIN Maliki Malang untuk tidak
berpacaran. Contohnya ketika penyusun menemukan bahwa ada sepasang kekasih yang
berasal dari daerah Aceh, yang mana kita tahu bahwa agama Islam di Aceh
sangatlah kental bahkan Aceh di sebut sebagai
Serambi Makkah, ternyata hal tersebut tidak mempengaruhi rasa keinginan
mereka untuk berpacaran, walaupun mereka memang mengakui bahwa terkadang mereka
merasa malu dengan cap di pundak mereka bahwa mereka adalah mahasiswa yang
berasal dari daerah yang sangat kental dengan islam.
Dari
segi pendidikan, subjek berasal dari berbagai sekolah. Ada yang berasal dari
SMA yang notabene pengetahuan tentang islamnya bisa disebut kurang, ada yang
berasal dari MA yang mana pada saat mereka menempuh pendidikan di MA mereka
telah lumayan banyak dijejali oleh pendidikan islam, dan bahkan ada pula yang
berasal dari pondok pesantren yang telah kita ketahui bagaimana sistem
pendidikan di pondok pesantren, yaitu melarang santrinya untuk berpacaran.
Dari
segi keluarga subjek, ada yang mengaku bahwa di dalam keluarga mereka
berpacaran adalah sesuatu yang lumrah atau bisa disebut sebagai hal yang memang
diperbolehkan oleh orang tua nya, asalkan masih di batas yang sewajarnya. Ada
pula yang mengaku bahwa mereka sangat dilarang oleh keluarganya untuk berpacaran, tetapi
pengekangan tersebut justru membuat mereka semakin ingin berpacaran meskipun
harus sembunyi-sembunyi, mereka merasa sudah dewasa dan sah-sah saja jika
berpacaran tanpa harus ada campur tangan orang tua.
Pada
hakikatnya, gambaran realitas sosial tentang perilaku berpacaran di Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang terlihat masih di batas yang
sewajarnya. Tetapi faktanya, pernah di temukan beberapa pasangan baik itu
mahasiswa lama maupun mahasiswa baru melakukan tindakan asusila di UIN Maliki
Malang tepatnya di Gedung B pada malam hari.
Dan
dari beberapa subjek yang penyusun
teliti tentang perilaku berpacaran mereka, ketika penyusun tanya tentang apa saja
yang mereka lakukan selama berpacaran, ada beberapa subjek yang mengaku pernah
bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman meskipun bukan di lingkungan UIN
Maliki Malang. Tidak sedikit pula yang tidak mau menjawab pertanyaan tersebut
dengan alasan bahwa hal tersebut adalah privasi. Bukan berpikir negatif, tetapi
dengan tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan bahwa hal tersebut
adalah privasi, itu sudah cukup membuktikan bahwa subjek pernah melakukan
hal-hal di luar batas yang sewajarnya
Dimana
ada keburukan disitu pasti ada kebaikan, tidak semua subjek yang penyusun teliti pernah
melakukan tindakan di luar batas kewajaran, cukup banyak pula mereka yang
memang paham benar tentang ajaran islam mengaku tidak pernah melakukan hal yang
di luar batas, mereka mengaku bahwa selama mereka berpacaran mereka hanya
saling berbagi cerita dikala bertemu, mereka lebih suka menyebutnya dengan ‘pacaran
secara islami’ walaupun sebenarnya tidak ada pacaran secara islami.
Bentuk
permasalahan sosial yang muncul dari perilaku berpacaran mayoritas bukan
dirasakan oleh orang yang berpacaran, tetapi oleh orang-orang di dalam maupun
di sekitar UIN Maliki Malang baik itu mahasiswa lain maupun warga sekitar.
Tentu menjadi hal yang tidak lucu jika suatu saat ada berita menyebar bahwa di
kampus UIN Maliki Malang telah terjadi kasus perilaku asusila, karena kampus yang juga
dikenal sebagai kampus ulul albab ini memiliki reputasi yang baik di mata
masyarakat dimana masyarakat telah percaya kepada kampus ini bahwa kampus ini
akan menghasilkan ilmuan yang ulama atau ulama yang ilmuan. Akan timbul sebuah
pertanyaan “kalau di kampus islam saja seperti itu, bagaimana di kampus yang
non-islam?” jika suatu saat benar-benar terjadi perilaku asusila di kampus
UIN Maliki Malang ini.
Bentuk
permasalahan sosial yang sangat jelas dari perilaku berpacaran ini adalah
tentang perilaku, tentu menjadi tanda tanya besar dimanakah etika seorang
mahasiswa UIN yang berpacaran. Bukankah mahasiswa UIN itu memahami tentang
ajaran islam? Bukankah mahasiswa UIN itu telah ‘digodog’ selama satu tahun di
mahad jami’ah? Bukankah islam melarang berpacaran? Tentu semua pertanyaan
tersebut harus dan wajib dijawab “Ya”, lalu kenapa kok masih ada Mahasiswa UIN
yang berpacaran? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, karna tidak
ada pihak yag bisa disalahkan dalam hal ini, baik itu pelaku, orang tua, maupun
Institusi.
Masalah
sosial dari perilaku berpacaran ini muncul karena mahasiswa yang berpacaran
berasal dari Universitas Islam, yang mana semua orang pun tahu bahwa islam
melarang untuk berpacaran. Jangankan untuk berpacaran, bagi pria memandang
wanita menggunakan nafsu saja sudah menjadi hal yang haram. Apakah dalam
berpacaran bisa dipastikan bahwa sepasang kekasih tidak berpacaran karena
nafsu? Tentu sangat sulit untuk berpacaran dengan tidak menggunakan nafsu.
Dampak
riil dari masalah sosial tersebut akan dirasakan oleh masyarakat ketika pelaku
asusila diketahui, contoh : jika ada sepasang kekasih yang sedang melakukan
tindak asusila, kemudian pasangan tersebut dipergoki oleh masyarakat, dari
pemergokan tersebut diketahui bahwa pasangan kekasih tersebut berasal dari kota
B kecamatan C, RT A/D. Maka otomatis masyarakat pada RT A/D akan merasa malu
karna salah satu anggota dari mereka melakukan tindakan yang tidak seharusnya
mereka lakukan.
Jadi
dampak dari masalah sosial ini terletak pada dampak psikis baik yang akan
dirasakan oleh masyarakat maupun oleh pelaku itu sendiri. Mereka akan merasa
malu atas apa yang mereka lakukan atau apa yang telah anggota dari mereka
lakukan.
Dahulu,
istilah pacaran sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti
sekarang ini, namun di zaman modern ini pacaran sudah merebak bak jamur di
musim penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa seakan sudah mengarah
pada vested of interest (mengakar) ke masyarakat. Para remaja ini seolah
membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam hal ini mengusung pacaran
sebagai suatu budaya pada masanya. Sebenarnya mungkin itu adalah sautu
kewajaran yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang
dianggap sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika
dahulu prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran
itu dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena
tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada
saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat.
Pacaran
menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan cinta dan kasih antara
dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin suatu hubungan yang
lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengenal lebih jauh untuk menuju
proses upacara sakral
(menikah) atau untuk mencari pasangan hidup yang dianggap cocok. Maka dari
pendefinisian itulah pacaran dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat
khususnya remaja karena merupakan hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah
laku keseharian mereka. Sehingga pada efeknya sekarang banyak para remaja
menganggap bahwa pacaran merupakan suatu hal yang wajib sebagai jalan mendapat
jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan seperti yang telah dikemukakan diatas
sebagai prosesi mengenal satu sama lain dengan cara mengikat dan menyatakan
hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa dikatakan formal agar dapat mengenal
secara intim.
Dampak
positif dari pacaran menurut subjek yang penyusun
wawancarai adalah dapat menumbuhkan spirit dalam belajar, memotivasi belajar
lebih giat agar menjadi orang sukses lalu dapat membahagiakan si Dia, membuat
hidup lebih berwarna, serta ada seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk
berbagi cerita tentang apa-apa yang terjadi pada kita di setiap harinya.
Sedangkan
dampak negatif dari perilaku berpacaran menurut subjek adalah dapat mengganggu
konsentrasi belajar, merusak daya pikir seorang pelajar, membuat malas kuliah
jika sedang ada masalah, dan juga tentunya dapat mendekatkan diri kepada
perilaku zina, Naudzubillahi min Dzalik.
Dari
segi perilaku, beberapa mahasiswa yang penyusun
tanyakan tentang pantas tidak nya mahasiswa UIN berpacaran, semua setuju dengan
menjawab tidak pantas. Bahkan beberapa subjek sendiri mengaku bahwa mereka
merasa tidak pantas berpacaran dengan menanggung ‘Tittle’ sebagai
mahasiswa UIN, tetapi mereka tetap saja berpacaran, aneh bin nyeleneh.
Rasa
kasih sayang merupakan anugrah yang sangat suci dari yang maha kuasa, seluruh
manusia di dunia ini pasti pernah jatuh cinta dan ingin merasakan kasih sayang
dari orang yang dicintainya. Tapi tentu ada cara yang lebih baik dalam
menyalurkan rasa kasih sayang dibanding dengan cara berpacaran, karna pada
dewasa ini, berpacaran lebih menjurus kepada hal-hal yang negatif seperti hal nya
mendekati perzinaan.
Salah
satu cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan rasa kasih sayang kita kepada
orang yang kita cintai adalah dengan berkomitmen untuk menjaga hati
masing-masing tanpa ada fikiran ingin memiliki orang lain jika diantara kedua makhluk
Tuhan ini memang sudah
benar-benar tercipta rasa kasih sayang satu sama lain. Menjaga hati lalu
berkomitmen untuk melanjutkan ke upacara yang sangat sakral (pernikahan) adalah
cara yang dianggap paling mampu menambal dibanding perilaku berpacaran.
Perlu
kita ketahui pula bahwa cinta itu suci, maka jagalah kesucian cinta itu dengan
sepenuh hati kita, jangan menodainya dengan berpacaran lalu melakukan hal yang
tidak-tidak, karna hal tersebut justru akan membuat cinta itu menjadi hitam
kemudian hati kita hanya dipenuhi oleh rasa hawa nafsu yang didukung oleh
dorongan syaitan.
Masih
banyak cara lain yang lebih sehat dalam menjalin kasih sayang dibanding
berpacaran yang peneliti belum bisa menyebutkan, karena pada hakekatnya setiap
orang itu memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda, tetapi perlu kita ingat
kembali sebagai umat muslim kita harus menjaga betul diri kita sendiri dan
keluarga kita tentunya, seperti yang telah termaktub di dalam Al-Quran yang
artinya : “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” maka kita harus
menjaga diri kita baik itu dari hal yang sudah dzahir merupakan sebuah dosa
baik yang masih samar. Waallahualam bisshawaab.
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pacaran pada buktinya menyatakan
adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada ketergantungan-organik
diantara disorganisasi sosial
dan pribadi sehingga mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan
sekarang dengan mengaitkan pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran
ini pun pada esensinya sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi
yang menyebabkan proses asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi
kini menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan
waktu bersamaan secara kumulatif
atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan masyarakat
khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba
dan dilalui.
Pacaran
pada mahasiswa UIN khususnya UIN Maliki Malang dirasa tidak pantas dilakukan,
alasannya seperti yang penyusun
telah sebutkan sebelumnya beberapa kali. Kita ini manusia, tidak seperti
binatang yang bisa seenaknya melakukan hubungan intim. Kenapa? Karena anak dari
hewan tidak perlu dirawat oleh induknya, berbeda dengan anak manusia yang baru
lahir yang perlu dirawat dan diawasi oleh induknya selama bertahun-tahun
tergantung sampai mana anak tersebut
dirasa sudah dewasa dan mampu hidup mandiri. Jika manusia berhubungan intim
seenaknya maka manusia tersebut tidak ada bedanya dengan “Wedus” (kambing)
seperti yang apa disampaikan oleh salah satu dosen penyusun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar