Jumat, 20 Desember 2013

Perilaku Berpacaran di Kalangan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang



Perilaku berpacaran mungkin bukan merupakan masalah bagi sebagian orang, apalagi bagi kalangan mahasiswa yang menganggap bahwa mereka sudah dewasa dan merasa perlu untuk menjalin sebuah hubungan dengan lawan jenis yang katanya tujuannya semata-mata untuk mempererat silaturahim. Mungkin masih bisa ditoleransi jika mahasiswa yang berperilaku pacaran bukan berasal dari universitas yang berciri khas islam, tapi berbeda ceritanya jika ternyata yang berpacaran adalah mahasiswa yang berasal dari universitas yang berciri khas islam, apalagi universitas islam yang negeri yang mana banyak orang menganggap bahwa mahasiswa nya adalah calon-calon ilmuan yang ulama atau ulama yang ilmuan.
Berbicara tentang perilaku berpacaran mahasiswa universitas islam negeri, tentu Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pun tidak lepas dari sorotan masyarakat. Di universitas yang katanya menjadi PTAIN terbaik ini pun masih banyak ditemui sepasang muda-mudi yang sedang asyik memadu kasih baik di lingkungan universitas maupun di sekitarnya. Menjadi hal yang tidak lumrah tentunya, dimana di universitas ini mewajibkan semua mahasiswa baru untuk tinggal di mahad selama satu tahun, dan tentu bukan hanya numpang tinggal tetapi diwajibkan pula mengikuti kegiatan keagamaan.
Berbicara tentang pacaran, didalam islam tidak mengenal istilah berpacaran. Istilah didalam islam yang pengertiannya hampir mirip dengan perilaku berpacaran adalah berkhalwat. Jika ada sebuah pertanyaan seperti ‘apa pantas mahasiswa UIN berpacaran?’ tentu jawabannya sudah kita ketahui, bahkan sepasang kekasih yang berasal di UIN sendiri menjawab bahwa tidak pantas, tetapi mereka tetap melakukannya, bukan hanya aneh tetapi ditambah nyeleneh.
Mahasiswa yang berpacaran di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang memiliki latar belakang kehidupan sosial yang berbeda-beda. Dari segi asal daerah, ternyata tidak mempengaruhi mahasiswa UIN Maliki Malang untuk tidak berpacaran. Contohnya ketika penyusun menemukan bahwa ada sepasang kekasih yang berasal dari daerah Aceh, yang mana kita tahu bahwa agama Islam di Aceh sangatlah kental bahkan Aceh di sebut sebagai  Serambi Makkah, ternyata hal tersebut tidak mempengaruhi rasa keinginan mereka untuk berpacaran, walaupun mereka memang mengakui bahwa terkadang mereka merasa malu dengan cap di pundak mereka bahwa mereka adalah mahasiswa yang berasal dari daerah yang sangat kental dengan islam.
Dari segi pendidikan, subjek berasal dari berbagai sekolah. Ada yang berasal dari SMA yang notabene pengetahuan tentang islamnya bisa disebut kurang, ada yang berasal dari MA yang mana pada saat mereka menempuh pendidikan di MA mereka telah lumayan banyak dijejali oleh pendidikan islam, dan bahkan ada pula yang berasal dari pondok pesantren yang telah kita ketahui bagaimana sistem pendidikan di pondok pesantren, yaitu melarang santrinya untuk berpacaran.
Dari segi keluarga subjek, ada yang mengaku bahwa di dalam keluarga mereka berpacaran adalah sesuatu yang lumrah atau bisa disebut sebagai hal yang memang diperbolehkan oleh orang tua nya, asalkan masih di batas yang sewajarnya. Ada pula yang mengaku bahwa mereka sangat dilarang oleh keluarganya untuk berpacaran, tetapi pengekangan tersebut justru membuat mereka semakin ingin berpacaran meskipun harus sembunyi-sembunyi, mereka merasa sudah dewasa dan sah-sah saja jika berpacaran tanpa harus ada campur tangan orang tua.
Pada hakikatnya, gambaran realitas sosial tentang perilaku berpacaran di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang terlihat masih di batas yang sewajarnya. Tetapi faktanya, pernah di temukan beberapa pasangan baik itu mahasiswa lama maupun mahasiswa baru melakukan tindakan asusila di UIN Maliki Malang tepatnya di Gedung B pada malam hari.
Dan dari beberapa subjek yang penyusun teliti tentang perilaku berpacaran mereka, ketika penyusun tanya tentang apa saja yang mereka lakukan selama berpacaran, ada beberapa subjek yang mengaku pernah bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman meskipun bukan di lingkungan UIN Maliki Malang. Tidak sedikit pula yang tidak mau menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan bahwa hal tersebut adalah privasi. Bukan berpikir negatif, tetapi dengan tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan bahwa hal tersebut adalah privasi, itu sudah cukup membuktikan bahwa subjek pernah melakukan hal-hal di luar batas yang sewajarnya
            Dimana ada keburukan disitu pasti ada kebaikan, tidak semua subjek yang penyusun teliti pernah melakukan tindakan di luar batas kewajaran, cukup banyak pula mereka yang memang paham benar tentang ajaran islam mengaku tidak pernah melakukan hal yang di luar batas, mereka mengaku bahwa selama mereka berpacaran mereka hanya saling berbagi cerita dikala bertemu, mereka lebih suka menyebutnya dengan ‘pacaran secara islami’ walaupun sebenarnya tidak ada pacaran secara islami.
Bentuk permasalahan sosial yang muncul dari perilaku berpacaran mayoritas bukan dirasakan oleh orang yang berpacaran, tetapi oleh orang-orang di dalam maupun di sekitar UIN Maliki Malang baik itu mahasiswa lain maupun warga sekitar. Tentu menjadi hal yang tidak lucu jika suatu saat ada berita menyebar bahwa di kampus UIN Maliki Malang telah terjadi kasus perilaku asusila, karena kampus yang juga dikenal sebagai kampus ulul albab ini memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat dimana masyarakat telah percaya kepada kampus ini bahwa kampus ini akan menghasilkan ilmuan yang ulama atau ulama yang ilmuan. Akan timbul sebuah pertanyaan “kalau di kampus islam saja seperti itu, bagaimana di kampus yang non-islam?” jika suatu saat benar-benar terjadi perilaku asusila di kampus UIN Maliki Malang ini.
Bentuk permasalahan sosial yang sangat jelas dari perilaku berpacaran ini adalah tentang perilaku, tentu menjadi tanda tanya besar dimanakah etika seorang mahasiswa UIN yang berpacaran. Bukankah mahasiswa UIN itu memahami tentang ajaran islam? Bukankah mahasiswa UIN itu telah ‘digodog’ selama satu tahun di mahad jami’ah? Bukankah islam melarang berpacaran? Tentu semua pertanyaan tersebut harus dan wajib dijawab “Ya”, lalu kenapa kok masih ada Mahasiswa UIN yang berpacaran? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, karna tidak ada pihak yag bisa disalahkan dalam hal ini, baik itu pelaku, orang tua, maupun Institusi.
Masalah sosial dari perilaku berpacaran ini muncul karena mahasiswa yang berpacaran berasal dari Universitas Islam, yang mana semua orang pun tahu bahwa islam melarang untuk berpacaran. Jangankan untuk berpacaran, bagi pria memandang wanita menggunakan nafsu saja sudah menjadi hal yang haram. Apakah dalam berpacaran bisa dipastikan bahwa sepasang kekasih tidak berpacaran karena nafsu? Tentu sangat sulit untuk berpacaran dengan  tidak menggunakan nafsu.
Dampak riil dari masalah sosial tersebut akan dirasakan oleh masyarakat ketika pelaku asusila diketahui, contoh : jika ada sepasang kekasih yang sedang melakukan tindak asusila, kemudian pasangan tersebut dipergoki oleh masyarakat, dari pemergokan tersebut diketahui bahwa pasangan kekasih tersebut berasal dari kota B kecamatan C, RT A/D. Maka otomatis masyarakat pada RT A/D akan merasa malu karna salah satu anggota dari mereka melakukan tindakan yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Jadi dampak dari masalah sosial ini terletak pada dampak psikis baik yang akan dirasakan oleh masyarakat maupun oleh pelaku itu sendiri. Mereka akan merasa malu atas apa yang mereka lakukan atau apa yang telah anggota dari mereka lakukan.
Dahulu, istilah pacaran sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti sekarang ini, namun di zaman modern ini pacaran sudah merebak bak jamur di musim penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa seakan sudah mengarah pada vested of interest (mengakar) ke masyarakat. Para remaja ini seolah membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam hal ini mengusung pacaran sebagai suatu budaya pada masanya. Sebenarnya mungkin itu adalah sautu kewajaran yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang dianggap sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika dahulu prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran itu dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat.
Pacaran menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan cinta dan kasih antara dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin suatu hubungan yang lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengenal lebih jauh untuk menuju proses upacara sakral (menikah) atau untuk mencari pasangan hidup yang dianggap cocok. Maka dari pendefinisian itulah pacaran dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat khususnya remaja karena merupakan hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah laku keseharian mereka. Sehingga pada efeknya sekarang banyak para remaja menganggap bahwa pacaran merupakan suatu hal yang wajib sebagai jalan mendapat jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan seperti yang telah dikemukakan diatas sebagai prosesi mengenal satu sama lain dengan cara mengikat dan menyatakan hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa dikatakan formal agar dapat mengenal secara intim.
Dampak positif dari pacaran menurut subjek yang penyusun wawancarai adalah dapat menumbuhkan spirit dalam belajar, memotivasi belajar lebih giat agar menjadi orang sukses lalu dapat membahagiakan si Dia, membuat hidup lebih berwarna, serta ada seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi cerita tentang apa-apa yang terjadi pada kita di setiap harinya.
Sedangkan dampak negatif dari perilaku berpacaran menurut subjek adalah dapat mengganggu konsentrasi belajar, merusak daya pikir seorang pelajar, membuat malas kuliah jika sedang ada masalah, dan juga tentunya dapat mendekatkan diri kepada perilaku zina, Naudzubillahi min Dzalik.
Dari segi perilaku, beberapa mahasiswa yang penyusun tanyakan tentang pantas tidak nya mahasiswa UIN berpacaran, semua setuju dengan menjawab tidak pantas. Bahkan beberapa subjek sendiri mengaku bahwa mereka merasa tidak pantas berpacaran dengan menanggung ‘Tittle’ sebagai mahasiswa UIN, tetapi mereka tetap saja berpacaran, aneh bin nyeleneh.
Rasa kasih sayang merupakan anugrah yang sangat suci dari yang maha kuasa, seluruh manusia di dunia ini pasti pernah jatuh cinta dan ingin merasakan kasih sayang dari orang yang dicintainya. Tapi tentu ada cara yang lebih baik dalam menyalurkan rasa kasih sayang dibanding dengan cara berpacaran, karna pada dewasa ini, berpacaran lebih menjurus kepada hal-hal yang negatif seperti hal nya mendekati perzinaan.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan rasa kasih sayang kita kepada orang yang kita cintai adalah dengan berkomitmen untuk menjaga hati masing-masing tanpa ada fikiran ingin memiliki orang lain jika diantara kedua makhluk Tuhan ini memang sudah benar-benar tercipta rasa kasih sayang satu sama lain. Menjaga hati lalu berkomitmen untuk melanjutkan ke upacara yang sangat sakral (pernikahan) adalah cara yang dianggap paling mampu menambal dibanding perilaku berpacaran.
Perlu kita ketahui pula bahwa cinta itu suci, maka jagalah kesucian cinta itu dengan sepenuh hati kita, jangan menodainya dengan berpacaran lalu melakukan hal yang tidak-tidak, karna hal tersebut justru akan membuat cinta itu menjadi hitam kemudian hati kita hanya dipenuhi oleh rasa hawa nafsu yang didukung oleh dorongan syaitan.
Masih banyak cara lain yang lebih sehat dalam menjalin kasih sayang dibanding berpacaran yang peneliti belum bisa menyebutkan, karena pada hakekatnya setiap orang itu memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda, tetapi perlu kita ingat kembali sebagai umat muslim kita harus menjaga betul diri kita sendiri dan keluarga kita tentunya, seperti yang telah termaktub di dalam Al-Quran yang artinya : “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” maka kita harus menjaga diri kita baik itu dari hal yang sudah dzahir merupakan sebuah dosa baik yang masih samar. Waallahualam bisshawaab.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pacaran pada buktinya menyatakan adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada ketergantungan-organik diantara disorganisasi sosial dan pribadi sehingga mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan sekarang dengan mengaitkan pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran ini pun pada esensinya sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi kini menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumulatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan masyarakat khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui.
Pacaran pada mahasiswa UIN khususnya UIN Maliki Malang dirasa tidak pantas dilakukan, alasannya seperti yang penyusun telah sebutkan sebelumnya beberapa kali. Kita ini manusia, tidak seperti binatang yang bisa seenaknya melakukan hubungan intim. Kenapa? Karena anak dari hewan tidak perlu dirawat oleh induknya, berbeda dengan anak manusia yang baru lahir yang perlu dirawat dan diawasi oleh induknya selama bertahun-tahun tergantung sampai mana anak tersebut dirasa sudah dewasa dan mampu hidup mandiri. Jika manusia berhubungan intim seenaknya maka manusia tersebut tidak ada bedanya dengan “Wedus” (kambing) seperti yang apa disampaikan oleh salah satu dosen penyusun.