Sabtu, 19 Oktober 2013

FILSAFAT ILMU (Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis)

Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis


.. 15
LATAR BELAKANG

    Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan kehidupan manusia. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati, karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang lebih. Namun keraguan, keengganan, dan  kecemasan ini biasanya pelan-pelan memudar ketika sudah mulai menekuni bidang ini dan bahkan akan lebih terasa menarik ketika sadar bahwa filsafat adalah bagian yang terpisahkan dari kehidupan manusia.      

    Dalam makalah ini, akan ada beberapa hal yang dibahas mengenai DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU yang mencakup Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologis. Didalamnya terdapat Objek Kajian, Aliran, serta Teologi dalam Ontologis, lalu Pengertian, Persyaratan, serta Aliran-Aliran dalam Epistimologi, dan yang terakhir ada Pengertian, serta Objek kajian Aksiologis.

  • DIMENSI ONTOLOGI

Definisi Ontologi

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta yang berarti ‘yang berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. (Dr. A. Susanto, M.Pd. 2011)
 
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636. Ontology tersebut diperkenalkan untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya metafisika terbagi menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontology. (Christian Wolff, 1679-1757)
 
Dengan demikian, metafisika umum atau ontology merupakan cabang dari disiplin ilmu filsafat yang mempelajari prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi kedalam kosmologi, psikologi, dan teologi. Kosmologi merupakan cabang ilmu yang secara khusus membahas tentang alam semesta. Psikologi merupakan cabang ilmu filsafat yang secara khusus membahas tentang gejala-gejala jiwa manusia. Sedangkan  teologi merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas tentang Tuhan.
 
Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologism sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian atau penelitian berdasarkan epistimologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einsten dalam Zainuddin (2006: 27) bahwa : “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun teori yang disusunnya”.
 
Memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatic ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut kebelakang (set back) ke zaman pra-copernicus dan kemungkinan mengundang berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642) pada zaman modern.
 

OBJEK KAJIAN ONTOLOGI

Objek kajian telaah ontology adalah semua yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada, yaitu Tuhan yang maha esa, pencipta dan pengatur serta penentu alam semesta.
Objek formal ontology adalah seluruh realitas. Bagi pendekatan kualitatif, kualitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monism, paralelisme, atau pluralism. Bagi pendekatan kualitatif realitas akan tampil menjadi aliran materialism, idea-lisme, naturalism, atau hilomorphisme.
 

A.    Metode dalam Ontologi   

        Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontology, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau  oleh ontology adalah abstraksi metafisik. Metode pembuktian dalam ontology oleh Lorens Bagus dibedakan menjadi dua, yaitu: pembuktian apriori dan pembuktian a posteriori. 

B.     Metafisika

        Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ (beyond nature), yang berada diluar pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia. (Asmoro Achmadi, 2005: 14)  

        Singkatnya, metafisika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada dibelakang gejala-gejala yang nyata. Jika ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika juga ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra. 

        Manusia berpendapat bahwa di alam ini terdapat wujud-wujud supranatural (bersifat gaib)  yang mana wujud-wujud tersebut lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animism (roh-roh bersifat gaib yang terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme. Lalu ada paham naturalisme yang menolak secara keras paham supranaturalisme, paham naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.

C.     Asumsi  

        Asumsi merupakan pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Yang berkenaan dengan konsep-konsep, dan pengandaian-pengandaian. Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan yang lebih ajeg dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.

 

ALIRAN-ALIRAN METAFISIKA DALAM ONTOLOGI

Di dalam pemahaman atau pemikiran ontology dapat ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti: Monoisme, dualisme, pluralisme, dan agnitisisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang pokok-pokok pemikiran tersebut.
A.    Aliran Monoisme
 
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa ruhani. Tetapi aliran monoisme pun terbagi menjadi dua, yaitu:

1.      Aliran Materialisme (Naturalisme)
                        Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu materi, bukan rohani. Menurutnya                            zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu.
2.      Aliran Idealisme (Supranaturalisme)
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka raga mini berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah salah satu bentuk dari penjelmaan ruhani
 
B.       Aliran Dualisme
 
Aliran dualism adalah aliran yang mencoba memadukan dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi atau ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karna adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karna materi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.
Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham aliran yang serba dua, yaitu antara materi dan bentuk. Menurut paham dualisme, didalam dunia ini selalu dihadapkan kepada dua pengertian, yaitu ‘yang ada sebagai potensi’ dan ‘yang ada sebagai terwujud’. Keduanya adalah sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidios).

C.       Aliran Pluralisme
 
Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralism bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu nyata adanya. Pluralism sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan ala mini tersusun dari banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas.

D.    Aliran Nikhilisme
 
Selanjutnya pada aliran nikhilisme  menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternative positif. Dalam pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.


E.     Aliran Agnotisisme
 
Sedangkan aliran agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indranya maupun oleh pikirannya. Paham agnotisisme mengingkari kemampuan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.

Teologi

Teologi juga merupakan bagian dari kajian bidang ontologi. Dalam kamus teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha meyodis untuk memahani dan menafsirkan kebenaran wahyu (gerald O’Collins dan Edward G., 2001; 314). Dalam bahasa latin teologi dairtikan ‘ilmu yang mencari pemahaman’, maksudnya dengan menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.
Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika, adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam. (Sudarsono, 2001 : 129). Pembahasan filsafat ini mengkaji keteraturan hubungan antara benda-benda alam sehingga orang meyakini adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.
Teologi dalam kajian filsafat metafisika memliki arti penting dalam pemikiran kefilsafatan. Pemikiran tersebut muncul sejak dari para filosof Yunani, kemudian dilanjutkan oleh kaum Sophi dan masa Sokrates, juga filsafat pada abad pertengahan, terutama dengan hadirnya filosof kristen, hingga perkembangan filsafat dewasa ini.


  • DIMENSI EPISTIMOLOGI

DEFINISI EPISTIMOLOGI

Epistemologi sering juga disebut teoi pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi bersal dari bahasa Yunani episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.
 
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005 : 157) epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan sebagainya.
 
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaaan mengenai pilihan landasan ontologi akan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, budi, pengalaman, atau kombinasi antara akal budi dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya model-model epistemologis  seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, atau rasionalis kritis, postitivisme, fenomenologis, dengan berbagai variasinya. Pengetahuan  yang diperoleh manusia melalu akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut.
  • Metode Induktif
Induksi yaitu suatu objek yang menyampaikan pernyataan-pernyataan hasil obeservasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
  • Metode Deduktif
Deduksi ialah metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
  • Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif.

  • Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang akan dihasilkan pun akan berbeda-beda. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi ini dapat diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
  • Metode Dialektis
Dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga nalisis sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

PERSYARATAN EPISTIMOLOGIS

Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat sistematis dan sistemik serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri tersebut saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut menurut  Conny R. Semiawan (2005 : 99) adalah sebagai berikut.
A.    Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kerja empiris.
B.             Semantik dan sistematis masing-masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang didasarkan pada penyelidikan (research) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan melalui komparasi dan generalisasi secara teratur. Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi dan sifat subjektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai intersubjektivitas.

ALIRAN-ALIRAN DALAM EPISTIMOLOGIS

Secara garis besar, terdapat dua aliran pokok dalam dimensi Epistemologi. Kedua aliran tersebut adalah alirann rasionalisme dan empirisme, dari kedua aliran ini kemudian lahirlah aliran isme yang lainya, misalnya rasionalisme kritis (kritisime), fenomenalisme, instuisionisme, positivisme, dan seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran yang pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian yang sangat menentukan hasil keputusan atau pemikiran. Hasil pemikiran filosof pada jaman klasik hingga kini pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologis idealisme atau spiritualisme, dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologis materialisme. Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Rene Decrates, seorang yang berkebangsaan prancis yang dijuluki sebagai “bapak filsafat modern”.
Rasionalisme dikembangkan berdasarkan “ide” dari Plato. Bagi Plato, alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah. Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Menurut Plato, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya.
Sedangkan filsafat empiris berasal dari filsafat yang dikembangkan oleh aristoteles, yang mengatakan bahwa realitas yang sebenarnya adalah terletak pada benda-benda konkret, yang didapat oleh indera,bukan pada ide sebagaimana yang disebutksn oleh Plato. Jadi, menurut Aristoteles sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosof-filosof inggris seperti F.Bacon, Thommas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Menurut John Locke, ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Bagi Locke, manusia dilahirkan dalam keadaan bersih,bagaikan kertas putih yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, di mana melalui kertas putih inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut.


  • DIMENSI AKSIOLOGIS

DEFINISI AKSIOLOGIS

Istilah aksiologis berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yabg dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praktis.

OBJEK AKSIOLOGIS

Aksiologis memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologis ini juga mengandung pengertian lebih luas dari pada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).
Filsafat ilmu juga menyibukan diri dengan berbagai masalah yang datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-musabab, hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu per satu.
Dilihat dari jenisnya, paling tiddak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu meliputi etika dan estetika.
1.      Etika
Etika disebut sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika merupakan standar prinsip atau standar prilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. (Conny R. Semiawan).
Ditinjau secara filosofis, sangat sukar mengatakan semua itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatau boleh dikatakan mengenai hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
2.      Estetika
Estetika mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hekikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang esteris dari suatu pengetahuan ilmiah tersebut.

A.    Universal 

        Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarati hukum-huum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik sekarang maupu seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-kondisi yang rekevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan itu sama. 

B.     Dapat Dikomunikasikan (communicable) 

        Maksudnya, apabila bahsa tidak merupakan kendala, pengetahuan itu bukan saja dimengerti sebatas artinya, tetapi juga maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan cukup besar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi communicable.


C.     Progresif 

        Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic, comprehensive). Mendasar (radical), kritis, dan analitis yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah.

KESIMPULAN

Didalam filsafat ilmu, ada kajian tentang filsafat ilmu, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Masing-masing dimensi memiliki pengertian yang berbeda. Bukan hanya pengertian, masing-masing dimensi juga memiliki objek kajian, aliran, serta metode pembahasan masing-masing.
Ontologi yang merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada, membahas tentang segala sesuatu yang jelas adanya. Misalnya, ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada.
Epistemologi atau sering juga disebut dengan teori pengetahuan, membahas dan menyelidiki asal-usul, susunan, metode-metode, dan sah nya pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai macam metode, seperti metode induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Kemudian ada aliran dalam epistemologi yaitu aliran rasionalisme dan aliran empirisme yang keduanya memiliki ciri khas tersendiri yang saling bertolak belakang.
Lalu yang terakhir ada dimensi aksiologis yang membahas ‘teori tentang nilai’. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada pada permasalahan etika dan estetika. Objek yang dibahas dalam aksiologi adalah tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika).


Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sudarto. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Edwards, Paul. 1972. The Encyclopedia of Philosophy. New York: Macmillan Publishing.
Komara, Endang. 2011. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama



Rabu, 09 Oktober 2013

Konsep Kecerdasan Islami

Konsep Kecerdasan Islami

Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Tarbiyah Ulul Albab

  DOSEN PEMBIMBING
Dr.H.Ahmad Khudori Saleh, M.Pd

KELOMPOK IV :
1.      ARI ISWAHYUDI (13410017)
2.      ARBITA WAFDATUL ILMIA (13410036)
3.      NURUL FADHILASANI (13410032)
4.      HILMAN MUTAQIN GUNAWAN (13410038)


JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGEGI (UIN(
MAULANA MALIKIBRAHIM MALANG
Oktober2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

            Puji syukur kami haturkan kepada Allah swt atas segala rahmatnya yang telah menciptakan manusia di atas mahkluk – mahkluk yang lainJuga tidak lupa shalawat dan salam atas junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya.
Alhamdulilah berkat rahmat dan karunianya kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul KONSEP KECERDASAN ISLAMI. Makalah ini akan sedikit mengupas tentang kecerdasan, mulai dari kecerdasan dasar, macam-macam kecerdasan, dan mengenai EQ serta SQ.
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritiknya sangat kami harapkan.
 Akhir kata kami ucapkan Terima kasih untuk semua yang  berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semuaAmin

Wassalamu’alaikum Wr.Wb



                                                                                     Malang, 09 Oktober 2013


                                                                                   Penyusun

1.1.    Latar Belakang
Kecerdasan otak manusia merupakan anugrah dari Allah SWT. Kecerdasan bisa dikatakan juga sebagai potensi seseorang. Seseorang terlahir ke dunia ini sejatinya memiliki kecerdasan yang sama , hanya saja tiap orang berbeda-beda dalam mengasah kecerdasan otak nya.
Berbicara tentang kecerdasan, menarik untuk dibahas sebenarnya apa saja macam-macam kecerdasan manusia. Karena banyak dari kita yang sebenarnya belum menyadari kecerdasan dasar apa yang kita miliki, apakah kecerdasan dasar yang kita miliki sejalan dengan aktifitas kita sekarang atau malah sebaliknya. Untuk itu dirasa perlu dijelaskan sebenarnya apa saja macam-macam kecerdasan manusia.
Lalu ada EQ dan SQ yang juga dirasa perlu dijelaskan. Karena banyak dari kita yang belum memahami betul apa itu EQ dan SQ, serta kurang tepat dalam menggunakan EQ atau SQ. Kemudian bagaimana cara mengoptimalkan EQ dan SQ yang benar.
1.      Bagaimanakah konsep kecerdasan islam?
2.      Apa sajakah macam-macam kecerdasan dalam diri manusia?
3.      Apa yang dimaksud dengan EQ dan SQ?






1.      Memahami kecerdasan dasar (kognitif) manusia
2.      Memahami kecerdasan keahlian manusia
3.      Memahami EQ dan SQ

Secara umum kecerdasan manusia terbagi menjadi dua, yaitu kecerdasan dasar (kognitif) dan kecerdasan keahlian. Dari dua kecerdasan ini kecerdasan terbagi menjadi 4 dalam kecerdasan kognitif, dan menjadi 9 dalam kecerdasan keahlian. Setiap manusia tentu berbeda-beda dalam kecerdasan dasar yang ia miliki, begitupun dalam kecerdasan keahlian setiap orang pasti memiliki kecerdasan yang berbeda-beda.

2.1.1. Kecerdasan Kognitif (Dasar)

Semua obyek memiliki fungsi tersendiri. Rumah memiliki fungsi untuk melindungi manusia dari hujan, handphone memiliki fungsi telepon dan sms, manusia pun memiliki fungsi yang dinamakan fungsi kognitif atau kecerdasan dasar manusia. Inilah yang menyebabkan pikiran dan pendapat setiap orang berbeda-beda.
Secara umum ada 4 fungsi kognitif yang ada dalam setiap orang, yaitu Intuition, Sensing, Thinking, dan Feeling. Setiap fungsi ini memiliki dua cara pengekspresian, ekspresi ke dalam (Introvert) dan keluar (Ekstrovert). Karena itu, keempat fungsi ini terpecah menjadi 8. Inilah kedelapan fungsi utama manusia.

2.1.1.1. Intuition

Intuitif adalah fungsi yang menyebabkan seseorang dapat berimajinasi dan melihat berbagai hal secara gambaran besar. Orang yang dominan menggunakan fungsi ini dapat melihat suatu permasalahan dengan berbagai sudut pandang. Mereka anti terhadap hal-hal secara detail atau bisa dikatakan abstrak. Fungsi ini membuat si pengguna memiliki vision ke depan.

A.   Extroverted Intuition (Ne)

Dengan arah pengekspresian keluar, fungsi Ne menjadikan penggunanya eksploratif dengan dunia luar. Orang dengan dominan fungsi Ne senang dan berani mencoba ide-ide baru. Mereka akan selalu memikirkan bagaimana sesuatu hal bisa diubah menjadi hal lain yang menurutnya lebih menarik. Fungsi ini menjadikan penggunanya penuh ide dan kreatif, walaupun sebagian ide tersebut tidak bermanfaat sekalipun. Namun, fungsi inilah yang berpotensi membuat perubahan besar. Penemu-penemu terkenal secara sadar atau tidak sadar menggunakan fungsi ini dalam proses menemukan temuannya. Ibaratnya kalo ada masalah menghalangi, fungsi ini memberikan arahan bagaimana kita dapat menemukan jalan alternatif, bukan melawan atau mundur, tapi melompati. Ne berusaha mendapatkan beberapa solusi untuk satu masalah.
Ciri-Ciri :
ü  Inovatif
ü  Bicara cepat
ü  Pikiran imajinatif
ü  Selalu ingin berbeda
ü  Pakaian yang dipakai tidak biasa / anti-mainstream
ü  Cepat bosan
ü  Selalu bertanya "Kenapa" terhadap suatu hal
ü  Suka melakukan brainstorming

B.      Introverted Intuition (Ni)

Sama seperti Ne, fungsi Ni memiliki "mata" terhadap masa depan. Perbedaannya dengan Ne adalah Ne berusaha mendapatkan ide baru dan baru, sedangkan Ni berusaha melihat satu ide atau obyek dengan sudut pandang yang lain bahkan bertolak belakang. Pengguna Ni memiliki perspektif atau pandangan tersendiri yang unik terhadap suatu hal. Pikiran seorang Ni terkadang tidak dapat tersampaikan secara utuh melalui lisan karena terlalu dalam dan kompleks. Ni berusaha menghubungkan suatu masalah dengan akibatnya, dan akibat dari akibatnya, dan seterusnya.

Ciri-Ciri :
ü  Sering menemui saat-saat "Aha!" (menemukan ide baru)
ü  Tenang
ü  Berusaha memahami sesuatu yang kompleks
ü  Kreatif
ü  Memiliki visi jauh ke depan
ü  Pertimbangan jangka panjang
ü  Berpikir abstrak
ü  Dapat menerima ide baru

2.1.1.2. Sensing

Fungsi sense berarti mendapatkan informasi dengan merasakan melalui kelima indera secara langsung. Maksudnya adalah dengan fungsi ini, apa yang dirasakan oleh indera lah yang merupakan informasi valid. Lain dengan fungsi intuitif yang berimajinasi tentang meteor jatuh setelah melihat sebuah batu kerikil, fungsi ini tidak membiarkan seseorang untuk berimajinasi, melainkan menganggap batu kerikil hanyalah sebuah benda kecil dan berdebu yang terlihat di jalan.

A.   Extroverted Sensing (Se)

Fungsi Se membuat seseorang tertantang dengan tantangan-tantangan yang bersifat fisik. Mereka lebih tertarik dengan melakukan sesuatu yang dapat dirasakan langsung oleh indera. Perbedannya dengan Ne adalah Ne tertantang untuk mengadu ide, sedangkan Se tertantang secara fisik. Se melihat apa yang benar-benar terjadi. Fungsi Se membuat si pengguna tetap fokus pada kondisi di mana dan kapan ia berada saat itu juga. Pikiran mereka tidak melayang ke mana-mana seperti Ne.
Ciri-Ciri :
Ø  Suka tantangan
Ø  Berani secara fisik
Ø  Life is never flat
Ø  Cepat bosan
Ø  Gaul
Ø  Selalu update trend
Ø  Modis

B.   Introverted Sensing (Si)

Berbeda dengan Se yang mengekspresikan dirinya keluar dalam bentuk bergaul dan hedon, Si lebih menjadikan seseorang terlihat kaku. Arah pengekspresian introvert menyebabkan si pengguna Si terlibat dalam diri sendiri. Pengguna Si akan melibatkan memori yang ada di dalam otak untuk memproses data yang didapatkan saat ini. Si terobsesi dengan hal-hal yang memang sudah familiar bagi mereka. Mereka tidak menyukai hal-hal baru yang tidak sesuai dengan apa yang ada di memori. Mereka akan menerima hal baru tersebut apabila di ingatan terdapat hal serupa dan pernah berbuah baik. Fakta adalah absolut benar!
Ciri-Ciri :
Ø  Ingatan tajam
Ø  Suka dengan hal-hal mendetail
Ø  Sangat patuh terhadap aturan setempat
Ø  Sadar akan perubahan terkecil sekalipun dalam jangka waktu lama
Ø  Mengikuti tradisi dan meneruskannya
Ø  Tidak suka hal baru yang tidak bermanfaat
Ø  Yakin 100% terhadap fakta saat itu juga
Ø  Sangat teliti

2.1.1.3. Thinking

Fungsi ini mencakup logika untuk memutuskan sesuatu. Mulai dari hal kecil hingga hal-hal besar akan dipertimbangkan secara logika. Benar atau salah. Kalau tidak benar, berarti salah. Itu saja.

A.    Extroverted Thinking (Te)

Fungsi Te menyebabkan seseorang fokus kepada tujuan. Fungsi ini terwujud dalam bentuk sikap ambisius. Orang dengan dominan fungsi ini cenderung tidak melihat seseorang berdasarkan emosi, melainkan manfaat orang tersebut terhadap tujuannya. Orang dengan fungsi dominan Te akan secara blak-blakan memberitahukan apa yang salah dan yang benar menurut pemahamannya. Tidak memandang bulu, siapapun bisa benar dan salah. Te membuat seseorang sangat terorganisasi. Mereka secara naluri akan mengambil alih kepemimpinan.
Ciri-Ciri :
·         Berbicara blak-blakan dan terkesan kasar
·         Suara berbicara keras
·         Tegas
·         Suka memerintah
·         Terorganisasi
·         Berpikir efisien
·         Ambisius
·         Produktif

B.   Introverted Thinking (Ti)

Fungsi Ti membuat si pengguna cenderung berpikir mengenai aturan-aturan yang terbentuk secara alamiah. Ti berusaha meyakinkan, memahami, dan mendapatkan informasi secara logis dan terorganisir berdasarkan prinsip dan ketentuan alam yang berlaku. Karena inilah, dengan fungsi Ti seseorang dapat menganalisa sesuatu secara benar dan tepat secara teknis. Pengguna Ti cenderung mempertahankan logika hasil analisisnya secara persisten sampai ia dapat membuktikannya atau terbukti salah.
Ciri-Ciri :
·         Analitis
·         Logis
·         Suka akan hal-hal teknis
·         Teoritis
·         Obyektif

2.1.1.4. Feeling

Fungsi feeling adalah satu fungsi pada seseorang yang melibatkan perasaan atau emosi. Fungsi ini adalah kebalikan dari fungsi Thinking. Fungsi ini menjadikan penggunanya sensitif terhadap norma-norma yang berlaku antar-sesama. Berbanding terbalik dengan Ti/Te yang memutuskan segala sesuatu berdasarkan logikanya, fungsi Feeling sangat menjunjung tinggi etika.

A.   Extroverted Feeling (Fe)

Mereka yang dominan menggunakan fungsi Fe memutuskan sesuatu berdasarkan norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, Fe akan selalu mengutamakan kepentingan bersama. Mereka seringkali melakukan sesuatu tanpa mengetahui mengapa mereka melakukannya. Fe mengerti perasaan orang-orang di sekitarnya. Mereka selalu berkeinginan untuk membuat semua orang bahagia. Fe membuat seseorang yang menggunakannya bergerak secara dinamis dalam kehidupan sosial. Tidak hanya dengan sesama manusia, Fe juga terlibat secara emosional dengan semua makhluk hidup, bahkan bahkan benda mati sekalipun bagi dominan Fe yang kuat.
Ciri-Ciri :
v  Sosialis
v  Perasa
v  Sopan
v  Bertanggung jawab atas perasaan seseorang
v  Mengutamakan kebersamaan
v  Suka menolong dan member
v  Ekspresif
v  Selalu terlihat bahagia

B.   Introverted Feeling (Fi)

Berbeda dengan Fe yang memutuskan berdasarkan norma-norma dari lingkungan sosial, Fi melihat sesuatu adalah salah dan benar berdasarkan keyakinan dalam dirinya. Pengguna fungsi Fi akan cenderung mengikuti norma-norma sosial secara diam-diam. Namun, sekalinya ada konflik antara norma sosial dengan nilai yang diyakini, Fi akan berargumen seperti halnya Ti. Mereka yang dominan Fi biasanya perfeksionis dalam hal etika layaknya Ti yang perfeksionis dalam berlogika.
Ciri-Ciri :
v  Subyektif
v  Pendiam
v  Nada bicara lemah lembut
v  Emosional mendalam
v  Sangat sopan dan santun
v  Baik hati dan tidak sombong

2.1.2. Kecerdasan Keahlian

Kecerdasan adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau memecahkan suatu masalah yang ada di lingkungan hidupnya dengan cepat dan tepat. Kecerdasan itu tidak hanya karena bawaan dari lahirnya, nilai IQ, Gelar, dan Reputasinya. Tetapi, kecerdasan didasarkan oleh tingkat keingintahuan seseorang, tingkat kemalasan seseorang, dan masalah yang dapat di selesaikan dalam hidupkan. Jadi, yakinlah, ingatlah, tuliskan dalam kertas dan bawa kertas itu kemana-mana, bahwa "SAYA PINTAR".
Berikut ini adalah 9 tipe kecerdasan keahlian pada manusia.

2.1.2.1. Intellegence of Word (Kecerdasan Mengolah Kata)

Seseorang yang memiliki kecerdasan ini mengacu pada penggunaan bahasa lisan maupun tulisan dan kemampuan berbahasa dengan baik dan efektif. Biasanya orang yang memiliki Kecerdasan ini dapat menghibur, mengajar, meyakinkan dan memberikan argumentasi dengan bahasa yang sangat baik dan benar. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini biasanya suka dan tertarik dengan bermain kata-kata, diskusi, membaca, dan pastinya menulis. Seseorang yang punya kecerdasan ini mampu mengekspresikan hal dengan bahasa secara singkat, tepat dan jelas. Oleh karena itu, Orang yang memiliki kecerdasan ini dapat beragumen dengan baik. Untuk pekerjaan, biasanya menjadi Pelawak, Artis, Penulis, intinya yang berhubungan dengan bahasa dan tulisan.

2.1.2.2. Intellegence of Logic (Kecerdasan Logika)

Seseorang yang memiliki kecerdasan ini mengacu pada penalaran, logika, dan mengolah angka yang baik. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan ini memiliki pemikiran yang rasional. Orang yang memiliki Kecerdasan ini mempunyai kemampuan untuk memahami argumen lawan bicara dengan logis dan dapat memecahakan masalah matematika dengan baik dengan menggunakan kecerdasan logis dan  matematis. Para Ilmuan kebanyakan memiliki kemampuan ini untuk mendapatkan suatu hipotesa sebelum di uji. Untuk pekerjaan, biasanya menjadi seorang ilmuan, akuntan, dan yang berhubungan dengan logika dan matematis.

2.1.2.3. Intellegence of Visual (Kecerdasan Visual)

Seorang dengan kecerdasan ini memiliki tingkat seni yang tinggi. Kecerdasan ini mengacu pada visualisasi, gambar, ruang, dan tentang gambaran perasaan seseorang. Jika sobat sekalian punya hobi menggambar, jika ada yang terlihat dan langsung ingin diabadikan menjadi sebuah foto, mencoret-coret dinding, dan sebagainya. Berarti sobat adalah termasuk dalam katogori kecerdasan ini. Seorang yang memiliki kemampuan ini dalam hal pekerjaan sangat cocok untuk menjadi seorang pelukis, photografer, disainer, arsitek, dan lain-lain.

2.1.2.4. Intellegence of Music (Kecerdasan Musikal)

Nah, biasanya orang yang memiliki kemampuan ini sangat baik dalam mengingat, menyanyikan, dan menciptakan suatu irama musik. Orang dengan kecerdasan ini juga sangat peka dalam hal musik. Kecerdasan ini biasanya mempunyai suara yang merdu dan sangat baik dalam mengidentifikasi suatu nada. Mereka dengan kecerdasan ini sangat sentitif, bisa bekerja dengan mendenfarkan musik, juga mahir dalam memainkan alat musik. Mereka berfikir melalui melodi dan irama. Pekerjaan yang biasanya mereka dapatkan adalah menjadi penyanyi ataupun komposer yang baik.

2.1.2.5. Intellegence of Physical (Kecerdasan Fisik)

Nah, Bagi sobat yang suka joget-joget inilah tipe kecerdasan kamu. Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu mengendalikan gerak tubuh dengan baik. Mereka yang memiliki kecerdasan ini mempunyai keahlian fisik yang khusus lho, seperti lincah, kekuatan, gerak fleksibel, seimbang, dan juga kemampuan taktis yang baik. Pekerjaannya biasanya menjadi atlet, aerobik, mortir, penari, dan lain-lain.

2.1.2.6. Intellegnce of People (Kecerdasan Intrapersonal)

Seseorang yang memiliki kecerdasan ini sangat pintar dalam mengerti dan memahami perasaan orang lain. Dengan hanya menatap matanya. Sangat peka dengan perasaan dan suasana hati seseorang. Kecerdasan ini mengacu pada banyak hal, mulai dari kemampuan untuk memimpin, berempati, dan kemampuan untuk mengorganisir orang lain. Orang dengan kecerdasan ini juga memiliki kemampuan untuk belajar dari gerak tubuh dan tindakan seseorang, oleh karena itu Seseorang yang mempunyai kecerdasan ini belajar bukan melalui teori tetapi melalui tindakan atau langsung turun kelapangan. Biasanya cocok untuk menjadi Psikolog.

2.1.2.7. Intellegnce of Self (Kecerdasan Interpersonal)

Orang yang memiliki kemampuan ini peka dan pintar untuk mengenali emosi diri sendiri. Tahukah anda? Kecerdasan ini dapat dengan mudah mengetahui perasaan sendiri, memperkaya, membimbing, dan membedakan berbagai macam kondisi yang terjadi pada dirinya. Kecerdasan ini juga punya sebuah kemampuan khusus yaitu kemampuan Stasioner. 
Kemampuan Stasioner adalah kemampuan untuk menjadi netral dan sulit untuk di pengaruhi oleh keinginan, keyakinan, emosi, dan sebagainya ketika dihadapakan oleh suatu masalah. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cocok untuk menjadi wirausahawan.

2.1.2.8 Intellegence of Nature (Kecerdasan Natural)

Seseorang yang memiliki kemampuan ini sangat peka terhadap Alam, apa yang terjadi dengan alam, menyenangi dan menyayangi alam. Mereka dapat berhubungan baik dengan alam apalagi lingkungan sekitarnya, biasanya mereka pasti memiliki hewan peliharaan atau pun memelihara bunga. Seorang yang memiliki kecerdasan ini biasanya menjadi ahli biologi, pecinta alam, aktifis lingkungan, dan lain-lain.

2.1.2.9. Intellegence of Existence (Kecerdasan Intuitif)

Dan yang terakhir, Kecerdasan Intuitif adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dengan tingkat insting yang baik. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan ini peka terhadap makna kenapa kita hidup di dunia ini. Seseorang yang mempunyai kecerdasan ini dapat mengetahui sesuatu yang benar atau salah dari insting dan naluri yang dia miliki. Biasanya kecerdasan ini dimiliki oleh Da'i, Ustadz, juru Dakwah, Pemimpin, dan lain-lain.

Kecerdasan Emosional (EQ)
Selama bertahun-tahun Kecerdasan Intelegensi (IQ) telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Daniel Goleman (1999), adalah salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ).

2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional (EQ)

Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Senada dengan definisi tersebut, Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih keberhasilan. Sementara itu Bar-On (2000) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.

Dari beberapa pengertian tersebut ada kecenderungan arti bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.

2.2.2. Fungsi Kecerdasan Emosional (EQ)

Salah satu komponen penting untuk bisa hidup di tengah-tengah masyarakat adalah kemampuan untuk mengarahkan emosi secara baik. Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (Ubaydillah, 2004:1) menunjukkan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% sisanya 80% ditentukan oleh serumpun faktor yang disebut kecerdasan emosional. Dalam kenyataannya sekarang ini dapat dilihat bahwa orang yang ber-IQ tinggi belum tentu sukses dan belum tentu hidup bahagia.
Orang yang ber-IQ tinggi tetapi karena emosinya tidak stabil dan mudah marah seringkali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi. Emosinya yang tidak berkembang, tidak terkuasai, sering membuatnya berubah-ubah dalam menghadapi persoalan dan bersikap terhadap orang lain sehingga banyak menimbulkan konflik. Emosi yang kurang terolah juga dengan mudah menyebabkan orang lain itu kadang sangat bersemangat menyetujui sesuatu, tetapi dalam waktu singkat berubah menolaknya, sehingga mengacaukan kerja sama yang disepakati bersama orang lain. Maka, orang itu mengalami kegagalan.
Di lain pihak beberapa orang yang IQ-nya tidak tinggi, karena ketekunan dan emosinya yang seimbang, sukses dalam belajar dan bekerja. Orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan diri dan lingkungannya, mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri, dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, serta mampu bekerja sama dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam. Ini berarti orang yang cerdas secara emosi akan dapat menampilkan kemampuan sosialnya, dengan kata lain kecerdasan emosi seseorang terlihat dari tingkah laku yang ditunjukkannya.
Asumsi ini diperkuat oleh pendapat Suparno (2004:21) yang menjelaskan jika kecerdasan seseorang tidak hanya bersifat teoritik saja, akan tetapi harus dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan emosi merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh seseorang dan sangat berguna untuk menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Masih menurut Goleman, biasanya pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.


2.3.1. Pengertian Kecerdasan Spiritual

Menurut Munandir (2001 : 122) kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.
Sementara itu Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.  Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.
Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.
Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.

Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dari pada yang lain. Kecerdasan spiritual menurut Khalil A Khavari di definisikan sebagai fakultas dimensi non-material kita atau jiwa manusia. Ia menyebutnya sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Kita harus mengenali seperti adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekat yang besar, menggunakannya  menuju kearifan, dan untuk mencapai  kebahagiaan yang abadi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan ia dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup, karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan. Sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.

2.3.2. Konsep Kecerdasan Spiritual (SQ)

Kecerdasan spiritual bukan kecerdasan dalam menjalankan agama, karena penekannannya pada pemaknaan semata. Istilah spiritual tersebut tidaklah merujuk kepada sumber atau proses hidup (spirit, ruh).  Kecerdasan spiritual bukanlah untuk memenuhi kebutuhan ketuhanan atau ruhaniyah (spirit), dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai yang merupakan suatu kebutuhan vital yang hanya dapat digali dari sumber wahyu ilahi. Kecerdasn spiritual ini lebih menekankan  pada upaya solutif terhadap segenap kompleks dan permasalahan eksistensialnya, tanpa harus berhubungan dengan agama atau nilai-nilai ilahiyah.
Agama dan spiritual adalah dua hal yang saling melengkapi. Pada dasarnya tiap agama monotheis mempunyai dua dimensi keberagaman, yaitu dimensi eksoteris yang berupa ritus-ritus lahiriyah dan rangkaian doktrin serta norma-norma yang didasarkan pada wahyu Tuhan  dan dimensi esoteris yang berupa pemaknaan atas hakikat simbol-symbol keagamaan atau asek-aspek rohaniyah (spiritualitas). Bahkan, dimensi esoteric tersebut lah yang merupakan jantung agama, karena agama merupakan suatu proses pendakian spiritual untuk kembali kepada kesejatian. Kematangan beragama eksoterik dengan ditunjang kematangan spiritualitas (esoterik) akan membawa pengaruh kepada pandangan menusia terhadap manusia dalam kehidupan, sehingga mampu menampilkan sosok yang arif dalam menyikapi segala problematika kehidupan dunia. 
Bagi umat Islam ditemukannya kecerdasan spiritual setidak-tidaknya  mampu berkarya khazanah berfikir dan memberikan motivasi untuk mengaktualitaskan ajaran Islam secara nyata (applicable). Disisi lain hal ini juga merupakan pintu pembuka kesadaran umat beragama, Islam khususnya, bahwa banyak pemeluk agama yang hanya terpesona pada masalah ritual agama dan kurang mempraktikannya dalam kehidupan keseharian. Beragama, sehingga keberagamannya tidak membawanya kepada kecerdasan spiritual dan ruhaniah.
Danah Zohar dan Ian Marshall menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Namun spiritualitas dalam konsepnya itu terbatas pada dorongan kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan “mendasar” atau “pokok”, seperti : mengapa saya dilahirkan?, apa makna hidup saya?, buat apa saya melanjutkan hidup saat saya lelah, depresi atau merasa terkalahkan?, apakah yang membuat semua ini berharga?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan dialami, kerinduan untuk melihat hidup dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna serta kerinduan akan sesuatu yang bisa dicapai, sesuatu yang mampu membawanya melampaui diri dan keadaan saat ini, sesuatu yang membuat manusia dan perilakunya menjadi bermakna.
Untuk menjadi pribadi muslim yang cerdas secara spiritual dibutuhkan beberapa elemen, antara lain :
                               I.            Terwujudnya keseimbangan (equilibrium) antara kebutuhan fisik-biologis dengan mental religius
                            II.            Terhindarnya individu dari penyakit (symptom) hati dan jiwa
                         III.            Terciptanya ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup
Untuk mencapai ketiga hal tersebut maka al-aql dan al-qalb hendaknya diarahkan kepada dimensi ruhaniah (mencapai sifat-sifat ilahiah atau al-nafs al-muthma’innah) dengan moralitas terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) sebagai indikatornya, dan menghindarkan diri dari belenggu hawa nafsu yang secara naluriah memiliki tendensi pada dorongan agresive dandestructive, dengan moralitas tercela (al-akhlaq al-madzmumah) sebagai indikatornya. Di sini diri manusia ditingkatkan kedudukannya, sehingga mencapai ketenangan dan kesempurnaan. Inilah proses perjuangan hidup manusia yang sejati atau seperti yang disebutkan nabi sebagai jihad yang paling besar (al-jihad al-akbar).
Untuk menjadi muslim yang cerdas secara spiritual diperlukan adanya visi dan persepsi yang jelas bahwa hidup merupakan amanat dan merupakan jembatan emas menuju keridhaan Allah dan menciptakan keyakinan bahwa mendapatkan karunia dan keridhaan Allah merupakan tujuan hidup. Kesadaran bahwa manusia adalah milik dan dari Allah serta akan kembali lagi menuju Allah (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) perlu ditanamkan dalam sanubari yang paling dalam. Dengan kesadaran ini manusia akan merasakan kehadiran Allah, merindukan perjumpaan dengan Allah, berbuat, bersikap dan bernafas karena Allah swt semata-mata.
Dengan mengerjakan misi hidupnya yang sesuai dengan fitrahnya atau qudrah dirinya maka hati (qalb) manusia terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika hati (qalb) selamat (qalbun salim), ia akan ’melihat’ Tuhannya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah hati (qalb) nya. Qalb (hati) adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani.
Konsep spiritualitas Islam pada dasarnya merupakan penjelasan tentang hubungan hamba dengan dzat Yang Maha Sejati, dengan melalui pendakian-pendakian spiritual yang terus-menerus menuju asal segala muasal. Kecerdasan spiritualitas seperti ini merupakan kemampuan manusia untuk mengenali potensi fitrah dalam dirinya. Fitrah ini adalah akar ilahiyah (original road) yang Allah swt berikan sejak ditiupkan ruh ke dalam rahim ibu. Dengan kesadaran yang semakin meningkat ini, akhirnya manusia visi hidup dan pemaknaan kehidupan terhadap dunia yang penuh arti dan pengharapan, karena perjalanan kehidupan sejati belum berakhir.
Dengan demikian adalah sangat tidak mungkin orang yang tidak mengakui adanya Tuhan dapat menjadi cerdas secara spiritual. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional pada dasarnya hanya menyoroti hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) yang berdimensi duniawi, sedangkan hal-hal yang terkait dengan Tuhan (hablun minallah) yang berdimensi ukhrowi belum terjelaskan. Untuk menjelaskannya secara tuntas diperlukan kecerdasan spiritual karenanya kecerdasan spiritual lah yang mampu mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seseorang. Dengan kecerdasan spiritual manusia mampu berfikir secara kreatif, berwawasan ke depan dan mampu membuat aturan-aturan. Untuk dapat mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara optimal langkah yang tepat adalah dengan memulai mengasah kecerdasan spiritual. Meskipun demikian kecerdesan spiritual semata-mata tidak akan membawa kepada pencerahan yang sejati jika nilai-nilai luhur ilahiyah yang dikemas dalam ajaran agama diabaikan atau bahkan ditinggalkan.
Al-Qur’an menggambarkan struktur manusia yang terdiri dari : ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs) dan jasad atau tubuh (al-jism). Dengan struktur yang demikian itu manusia mempunyai potensi-potensi spiritual untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya, melalui peningkatan dan penyempurnaan. Dalam hal ini Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa ruh adalah bagian yang paling terang, dan jasad atau tubuh adalah bagian yang paling gelap, sedangkan nafs (jiwa) adalah jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs yang berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat jauh dari ruh. Pada sebagian orang, nafsnya bersinar dan bergerak naik menuju wujud yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi nafsnya sangat gelap dan bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ketiadaan. Nafs adalah barzakh yang selalu berubah.
Jiwa (nafs) manusia merupakan sesuatu yang dianggap bertanggung jawab terhadap segala aktifitas manusia dan yang akan diberi pahala atau hukuman di akhirat. Jiwa lah yang menerima pendidikan dan penyucian. Pendidikan dan penyuciannya dilakukan dengan mengasah hati (qalb), karena hati merupakan potensi rasa dari jiwa. Dialah yang mampu menangkap pancaran sinar-sinar ilahi. Dengan demikian, kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam terletak pada jiwa (nafs), lebih khususnya pada hati (qalb) yang merupakan rajanya. Allah menempatkan hati (qalb) sebagai kesadaran manusia, sehingga Allah sendiri tidak mempedulikan tindakan yang kasat mata, bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya.
Untuk menjadi cerdas secara spiritual manusia harus memiliki kemampuan untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang mengilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati dan beradaptasi. Hal ini sangat ditentukan oleh upaya pendidikan dan pensucian hati, sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta cara pengambilan keputusan seseorang. Untuk itu maka hati (qalbu) harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatan kebenaran dan kecintaan pada ilahi, karena ruh memang berada pada martabat ilahi.

2.3.3. Fungsi Kecerdasan Spiritual (SQ)

Sebagai bentuk dari proses psikologis ketiga, kecerdasan spiritual berfungsi untuk mengoptimalkan kinerja dua jenis kecerdasan sebelumnya, yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual bersifat menyatukan, yaitu bahwa berfikir bukanlah semata-mata proses otak semata (IQ), tetapi juga menggunakan emosi dan tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan makna dan nilai (SQ). Perbedaan pokok kecerdasan spiritual dengan dua jenis kecerdasan sebelumnya adalah kinerjanya. Kecerdasan intelektual (IQ) menghasilkan jenis berfikir seri, yaitu kinerja dari aktifitas otak yang linier, logis dan rasional. Keunggulan berfikir seri dan kecerdasan intelektual adalah keakuratan, ketepatan dan responsibilitasnya. Kecerdasan emosional menghasilkan aktifitas berfikir asosiatif yang memiliki keunggulan dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia juga memiliki kemampuan untuk mengenali nuansa atau ambiguitas, yang tidak dimiliki oleh kecerdasan intelektual. Tidak seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional ini kurang akurat dan lambat dalam belajar serta cenderung terikat pada kebiasaan atau pengalaman.
Dari dua jenis kecerdasan tersebut kemudian ditemukanlah kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual yang menghasilkan cara berfikir unitif atau menyatukan, yaitu menyatukan dua cara berfikir sebelumnya dan dengan kreatif menciptakan dan mengubah aturan-aturan yang telah terbentuk dalam proses berfikir dan mengarahkannya sesuai dengan kehendak kita. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk memaknai dan memberikan nilai terhadap segala pengalaman.

Dalam pandangan Islam ketinggian tingkat spiritual tidak semata-mata dilihat dari proses pemaknaan, melainkan terdapat suatu proses yang terus menerus yang disebut sebagai proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pengendalian hawa nafsu (mujahadah). Kearifan untuk memaknai kehidupan dalam konteks nilai yang lebih luas merupakan imbas dari proses tersebut dan bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya atau puncak spiritualitasnya adalah keridhaan dan cinta ilahi untuk dapat ma’rifat kepada Allah, sehingga dapat kembali kepada-Nya dengan selamat. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.


Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan itu pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu kecerdasan dasar (kognitif) dan kecerdasan keahlian. Dari dua bagian kecerdasan tersebut macam-macam kecerdasan terbagi menjadi empat dalam kecerdasan dasar, yaitu intuition, sensing, thinking, dan feeling. Dari keempat bagian tersebut kecerdasan masih terbagi lagi menjadi Extroverted dan Introverted pada setiap bagian. Sehingga dalam kecerdasan ada delapan bagian yang diliputinya.
Sedangkan dalam kecerdasan keahlian, dibagi menjadi sembilan cabang, yaitu kecerdasan mengolah kata, logika, visual, musikal, fisik, intrapersonal, interpesonal, natural, dan intuitif. Masing-masing dari manusia mempunyai kecerdasan keahlian nya masing-masing. Dan ada pula sebagian manusia yang mempunyai kecerdasan keahlian yang ganda.
Sementara dalam hal kecerdasan otak, ada EQ dan SQ. EQ berfungsi untuk mengatur emosi dalam diri manusia, dan untuk bisa menempatkan posisi seseorang dalam kehidupannya. Sedangkan SQ berfungsi untuk mengetahui nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, SQ bukan kecerdasan tentang agama, melainkan kecerdasan untuk dapat memposisikan diri dalam masyarakat.
Pada akhir bagian ini, kami ingin berterimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini, karna tanpa bantuan dari semua yang terlibat dalam makalah ini makalah ini tidak akan bisa terlaksana. Tentu dalam makalah ini masih banyak kekurangan dalam isi-isi nya, untuk itu kami sangat membuka kritik dan saran agar kedepannya bisa lebih baik lagi.